HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Pendahuluan
Perkawinan sudah merupakan sunnatullh yang berlaku secara umum dan perilaku makhluk ciptaan Tuhan, agar dengan perkawinan
kehidupan di alam dunia ini bisa berkembang untuk meramaikan alam yang luas ini dari generasi ke generasi berikutnya. Berbicara mengenai perkawinan sejati pada prinsipnya akan berbicara tentang pilihan pasangan hidup yang benar-benar dari hati yang paling tulus walaupun dalam pemilihan itu banyak terjadi tantangan akan tetapi bagi mereka yang telah benar-benar yakin adalah mereka yang ingin segera meresmikan ikatan itu dalam ikatan perkawinan yang sah dimata agama dan Negara.
Perkembangan kontemporer manusia dalam meresmikan pasangan hidup telah diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan akan tetapi perkembangan jaman menuntun pada permasalahan baru yaitu perkawinan beda agama. Pembahasan tentang perkawinan
beda agama di Indonesia merupakan suatu yang rumit. Sebelum berlakunya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat dengan UU Perkawinan), perkawinan beda agama termasuk dalam jenis perkawinan campuran. Adapun perkawinan campuran diantur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 nomor 158, yang biasanya disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Menurut Sudargo Gautama, pasal tersebut mempunyai pengertian sebagai perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan, yang didalamnya antara lain disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam religi, golongan rakyat, tempat kediaman atau agama.
Perkawinan beda agama, akhirnya menjadi polemik tersendiri. UU Perkawinan yang tidak mengatur secara jelas tentang perkawinan beda agama, membuat pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut menjadi relatif sulit. Dalam UU perkawinan Pasal 2 bahkan disebutkan bahwa:[3]
"perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing".
syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”). Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UUP adalah :
1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (“PP No. 9/1975”). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (lihat Pasal 2 PP No. 9/1975).
Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]: 221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18).
Berdasarkan penjelasan diatas perkawinan yang dilakukan diwilayah hokum Indonesia harus dilakukan dengan satu jalur agama artinya perkawinan beda agama tidak di perbolehkan untuk dilaksanakan dan jika tetap dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan beda aga,a berarti pernikahan itu tidak sah dan melanggar UU.
Rukun menentukan sah atau tidak sahnya suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum, jika salah satu rukun dalam suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum tidak terpenuhi, maka berakibat pada batalnya suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum, bahkan bisa sampai berakibat tidak sahnya suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum tersebut. Demikian juga menurut ulama fikih, bahwa rukun berfungsi sebagai penentu sah atau batalnya suatu perbuatan hukum.
Sejak disahkannya undang-undang perkawinan nasional pada tahun 1974, masyarakat Indonesia yang pada umumnya heterogen masih dibingungkan dengan suatu kenyataan akan berlangsungnya perkawinan beda agama yang dilakukan oleh beberapa orang di negara ini karena dalam undang-undang perkawinan nasional yang telah disahkan tersebut tidak ditemukan suatu peraturan yang secara tegas mengatur maupun melarang tentang perkawinan beda agama. Sehingga bisa dikatakan menimbulkan suatu kekosongan hukum.
Menurut Prof. Wahyono Darmabrata perkawinan mereka tetap bisa dilaksanakan dan dicatatkan. Menurutnya untuk dapat mencatatkan perkawinan beda agama, ada empat cara yang biasa di tempuh oleh para pihak yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama:[9]
- Meminta penetapan pengadilan. Pasal 21 ayat (1) -- (4) UU No. 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa jika pegawai pencatan perkawinan berpendapat bahwa perkawinan tersebut ada larangan menurut UU ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai alasan-alasan penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan diatas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan.
- Perkawinan dilangsungkan dua kali menurut masing-masing agamanya. Dengan melangsungkan perkawinan dua kali menurut agama calon suami dan istri diharapkan pegawai pencatat perkawinan menganggap bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dapat dipenuhi. Prof. Wahyono berpendapat bahwa perkawinan yang berlaku bagi mereka adalah perkawinan yang dilangsungkan belakangan. Hal ini dikarenakan perkawinan yang dilakukan belakangan otomatis membatalkan perkawinan yang dilangsungkan sebelumnya.
- Penundukan sementara terhadap salah satu agama. Penundukan sementara ini biasanya diperkuat dengan mengganti status agama yang dianut di Kartu Tanda Penduduk. Namun, setelah perkawinan berlangsung pihak yang melakukan penundukan agama kembali ke agama semula. Hal ini merupakan penyelundupan hukum karena dilakukan untuk menghindari ketentuan hukum nasional mengenai perkawinan yang seharusnya berlaku bagi dirinya.
- Melangsungkan perkawinan di luar negeri. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia oleh 2 (dua) orang warga Negara Indonesia atau seorang warga Negara Indonesia dengan warga Negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam waktu 1 tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Namun sebenarnya cara ini tidak dapat menjadi pembenaran dilangsungkan perkawinan beda agama. Karena sesuai Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 perkawinan tersebut baru sah apabila warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan UU No. 1 Tahun 1974. Dengan demikian masih banyak penafsiran tentang kebolehan perkawinan beda agama yang ada di negara Indonesia.
Berdasarkan penjelasan Komperhensif diatas dapat dilihat bahwa pernikahan beda agama tidak dapat dilakukan karena melanggar UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan oleh karena itu sebenarya putusan MA No 1400 K/Pdt/1986 telah mengisi kekosongan hukum pernikahan beda agama di UU Perkawinan dan dapat dijadikan yurispudensi dalam pelaksanaan pernikahan beda agama akan tetapi secara moral jika melihat kultur budaya serta agama di Indonesia pernikahan beda agama sedikit banyak tetap akan menjadi polemik dikalangan masyarakat dan ikut menciptakan gesekan social dimasyarakat karena pada hakekatnya pernikahan dianggap suatu hal yang sakral dan suci yang dalam pelaksanaan dan syarat pernikahanya wajib mengikuti ketentuan agama.
Komentar
Posting Komentar