SOSIOLOGI HUKUM : Metode Pendekatan, Pengertian Sosiologi Hukum dan Ruang Lingkup Sosiologi Hukum
Pendahuluan
Pengertian Sosiologi Hukum
Ruang Lingkup Sosiologi Hukum
Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Para sarjana, praktisi, atau ahli di bidang sosiologi disebut sosiolog.
Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya.[butuh rujukan] Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.
A. Metode Pendekatan
Memasuki dunia hukum dan melibatkan diri di dalamnya sangatlah berbeda dengan memasuki alam maya melalui internet. Hukum penuh dengan keteraturan, sementara penolakan terhadap keteraturan ini sangat jarang dikumandangkan. Hal tersebut menuntut kita untuk bisa merubah dunia yang penuh keteraturan itu. Satjipto Rahardjo (2003) mengatakan, "mengajarkan keteraturan, menemukan ketidakteraturan (teaching order finding disorder)". Berangkat dari hal itu, dalam bagian ini, penulis akan mengajak pembaca untuk belajar memasuki dunia hukum secara teratur. Pada bagian selanjutnya akan dikemukakan dunia hukum yang penuh dengan ketidakteraturan. Inilah yang dijadikan langkah awal untuk memasuki dunia hukum.
Apabila kita mau melihat hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu, pilihan tersebut akan membawa kita kepada metode yang bersifat idealis. Metode ini akan berusaha untuk menguji hukum yang mau mewujudkan nilai-nilai tertentu. Di sisi lain, apabila kita memilih untuk melihat hukum sebagai suatu sistem peraturan-peraturan yang abstrak, perhatian kita akan terpusat pada hukum sebagai lembaga yang benar-benar otonom, yaitu yang bisa kita bicarakan sebagai subjek tersendiri.
Hal ini akan membawa kita kepada metode normatif, sesuai dengan cara pembahasannya yang bersifat analitis. Sedangkan apabila kita mau memahami hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat, metode yang digunakan bersifat sosiologis (Satjipto Rahardjo,2003). Hal ini sangat berbeda dengan pemahaman hukum dari kedua pendekatan yang pertama. Pendekatan terakhir ini mengaitkan hukum kepada usaha untuk mencapai tujuan-tujuan serta memenuhi kebutuhan konkrit dalam masyarakat. Oleh karena itu, metoda itu memusatkan perhatiannya kepada pengamatan mengenai efektivitas hukum.
Ketiga metode tersebut mendapatkan ruang gerak yang cukup kritis dalam pengkajian hukum dewasa ini. Sebagai langkah awal, penulis akan mengajak pembaca untuk menjelajahi masing-masing metode tersebut. Di dalam era pembangunan ini, terdapat tuntutan akan adanya peran aktif dari semua pihak dan segenap aspek kehidupan — termasuk di dalamnya para ahli hukum dan hukum — untuk ikut serta mendukung tercapainya tujuan nasional. Ada tiga pilihan cara dalam kajian pendekatan sosiologi hukum diantaranya :
1. Kajian Normatif (analitis-dogmatis)
Kajian ini memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian ini sifatnya preskriptif, menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Kajian normatif terhadap hukum dilakukan antara lain pada ilmu hukum pidana positif, hukum tata negara positif, dan hukum perdata positif. Dengan kata lain, kajian ini lebih mencerminkan law in books. Dunianya adalah das sollen, apa yang seharusnya.
Kajian hukum normatif ini lebih ditekankan pada norma-norma yang berlaku pada saat itu atau norma yang dinyatakan dalam undang-undang. Metode yang digunakan untuk penelitian terhadap kajian ini adalah metode yuridis-normatif. Kajian terhadap penelitian hukum normatif ini pada dasarnya adalah mengkaji hukum dalam kepustakaan, misalnya penelitian inventarisasi hukum positif, penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian untuk menemukan hukum in concreto, penelitian terhadap sistematika hukum dan penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.
Kajian normatif ini merupakan kajian yang sangat menentukan puncak perkembangan hukum sejak abad ke-19. Pada waktu itu, sebagai akibat kemajuan teknologi, industri, perdagangan dan transportasi, terjadilah kekosongan berar dalam bidang perdagangan. Berdasarkan kekosongan tersebut, hukum memberikan respon yang sangat masif dan melahirkan suatu orde baru. dalam tatanan yang tidak ada tandingnya. Hal inilah yang membuat metode-metode kajian hukum menjadi sangat normatif, positivistik dan legalistik.
Metode analitis dogmatis ini pada hakikatnya hanya merupakan konsekuensi dari fenomena the statutoriness of law saja. Metode tersebut muncul karena kebutuhan dari kehadiran hukum perundang-undangan yang semakin mendesak, guna mengisi kekosongan dalam dunia perdagangan dalam era revolusi industri. Metode ini sering disebut sebagai metode yuridis-dogmatis, yaitu metode yang cenderung mempertahankan peraturan hukum yang berlaku dan mempelajarinya secara nasional.
Metode ini digunakan oleh para peneliti hukum pada masa berlakunya anggapan 'ilmu untuk ilmu' dan seni untuk seni, sehingga pada saat itu peneliti hukum berpandangan bahwa 'hukum untuk hukum dan bukan hukum untuk masyarakat. Metode ini tidak mengaitkan peranan hukum bagi masyarakat. Metode ini begitu kental dirasakan dalam ajaran Hans Kelsen, yang dikenal dengan `Ajaran Hukum Murni', maksudnya hukum dibersihkan dari pengaruh hukum alam & pengaruh ilmu lain yang bersifat empiris ( Hans Kelsen, 1995).
Dari pernyataan diatas, hans Kelsen mengajarkan bahwa :
1. Hukum identik dengan hukum positif, 'tiada hukum selain hukum positif.
2. Hukum positif berlaku karena das Sollen (seharusnya) bukan karena das Sein (kenyataannya).
3. Dasar berlakunya hukum adalah hukum lain yang lebih tinggi peringkatnya dan sampai batal tertentu akan akan sampai pada apa yang disebut dengan hukum tertinggi.
4. Hukum tertinggi tidak ditetapkan oleh suatu kekuasaan tertentu, melainkan ada dengan sendirinya.
5. Hukum tertinggi disebut dengan Grundnorm.
6. Kesimpulannya: Menemukan kebenaran melalui cara deduktif menjadi Kriterium Kebenaran Koheren. Kebenaran penelitian dinyatakan reliable tanpa harus melalui proses pengujian atau verifikasi.
Peneliti yang menggunakan metode ini memiliki hubungan yang sangat eras dengan objek kajiannya. Baginya hukum yang berlaku sudah sangat melekat dengan dirinya dan tidak ada pilihan lain kecuali mematuhi hukum yang berlaku tersebut.
Menurut Satjipto Rahardjo(2002), metode normatif ini didasarkan pada hal di bawah ini.
1. Ada penerimaan hukum positif sebagai suatu yang harus dijalankan.
2. Hukum dipakai sebagai sarana penyelesaian persoalan (problem solving device).
3. Partisipasi sebagai subjek yang memihak hukum positif.
4. Sikap menilai atau menghakimi anggota masyarakat, berdasarkan hukum positif.
Kajian normatif terhadap hukum ini dapat dilihat dari hal-hal. berikut, yaitu adanya Inventarisasi hukum positif, penelitian asas hukum, menemukan hukum konkrit, adanya sistematika hukum, adanya sinkronisasi dan harmonisasi, perbandingan hukum serta sejarah hukum.
Dogmatika hukum atau ajaran hukum (rechtsleer, rechtdogmatiek), sering pula disebut sebagai ilmu hukum (rechtwetenschap),dalam arti sempit, memiliki tujuan untuk memaparkan, mensistematisasikan dan menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku (vigerende positiefrecht). Dalam dogmatika hukum, orang tidak hanya mengatakan bagaimana hukum harus diinterpretasikan tetapi juga bagaimana hukum seharusnya diinterprestasikan. Hal tersebut merupakan inti dogmatika hukum. Tampak bahwa unsur subjektivitas dari ilmuwan hukum pada pemaparan dan sistematisasi hukum begitu kentara. Subjektivitas yang dimaksud adalah masuknya praanggapan yang dimiliki oleh penafsir ketika membaca teks hukum.
Dogmatika hukum muncul dengan adanya kegiatan meneliti, mempelajari dan mengelompokan hukum positif, sejak runtuhnya imperium Roma. Pada waktu itu, keberadaan ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat universal atau internasional, kehilangan statusnya. Di Eropa, kegiatan ini disebut sebagai dogmatika hukum (rechdogmatiek). Kiprah dogmatika hukum terbatas hanya pada suatu sistem hukum nasional, yang berlaku di suatu wilayah negara nasional tertentu. Pada dasarnya, pengembangan dogmatika hukum ini berintikan kegiatan mengkompilasikan dan menginterpretasi aturan-aturan hukum positif, serta mensistematisasikan keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Produk interpretasi tersebut kemudian disusun menjadi suatu tatanan hukum nasional yang relatif koheren. Dengan demikian, melalui sistematisasi dogmatika hukum, ilmuwan hukum mengarahkan penyelesaian masalah-masalah hukum, daya jangkaunya serta aturan-aturan hukum yang ada. Dalam dogmatika hukum, hermeneutika hukum menjadi proses penting dalam menafsirkan sebuah teks. Proses ini dimulai dari' merumuskan fakta-fakta hukum. Berdasarkan eksplorasi teoritis tertentu (praanggapan), kita dapat menafsirkan aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh penguasa. Hasil dari spiral hermeneutika itu adalah keputusan tertentu yang berpengaruh bagi praktek-praktek hukum.
Yang menjadi objek utama dari dogmatika hukum adalah hukum positif. Di sini, seorang dogmatis hukum akan sering menempatkan dirinya, seolah-olah ia tengah melakukan kegiatan pembentukan hukum atau penemuan hukum. D.H.M Meuwissen Brugink (1979), mengatakan, bahwa dogmatika hukum adalah kegiatan memaparkan, menganalisis, mensistematisasikan hukum yang berlaku atau hukum positif. Sementara itu, M. Van Hoecke (1982) mengatakan bahwa dogmatika hukum adalah, sebagai cabang ilmu hukum (dalam arti luas), yang memaparkan dan mensistematisasikan hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu, pada suatu waktu tertentu, dari sudut pandang normatif. Menurut Anom Surya Putra (2003) yang menjadi objek pembahasan dari dogmatika hukum ialah logika hukum, semiotika dan etos trasformasi dengan tujuan menyelesaikan sengketa, kasus dan peristiwa hukum.
Menurut pandangan tradisional, ilmu hukum dogmatik (dalam arti sempit) sama dengan teori hukum (dalam artian luas). Ilmu ini adalah ilmu hukum yang optima formal (dalam bentuknya yang optimal), yang dapat juga dinamakan sebagai dogmatika hukum (rechdogmatik, jurisprudenz). Istilah ini cukup menggambarkan suatu kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif yang konkrit. Sifat dogmatiknya terletak pada kecenderungan orang untuk membatasi diri hanya pada suatu sistem hukum yang spesifik. Orang membatasi diri pada kaidah-kaidah hukum positif tertentu dan menutup diri dari keadaan atau sistem hukum yang lain.(D.H.M.Meuwissen,1994)
Dari pendekatan dogmatika hukum tersebut, timbul satu pertanyaan, bagaimanakah halnya jika pendekatan yang digunakan berbeda?. Pertanyaan itu muncul karena pendekatan dogmatika hukum banyak tergantung dari bagaimana cara orang memandang sifat khas dari hukum positif itu (jadi objeknya). Jika orang lebih menonjolkan sifatnya yang normatif, orang akan memandang ilmu hukum dogmatik sebagai ilmu hukum yang normatif. Selain itu, ilmu hukum dogmatik juga mempunyai pengaruh untuk menormakan apa yang hendak ditafsirkannya. Jadi, ilmu hukum dogmatik memiliki dimensi politis-praktis. Ilmu hukum dogmatik memiliki suatu karakter tersendiri. Ia adalah sebuah ilmu Sui Generis yang tidak dapat dibandingkan (diukur, dinilai) dengan bentukan ilmu lain manapun. Ilmu hukum dogmatis memiliki berbagai ciri-ciri sebagai berikut.
1. Memiliki sifat empiris-analitis. Ia memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi (dan stuktur) dari hukum yang berlaku. Terkait padanya ia dapat menggunakan metoda empiris. Yang pasti, ia tidak memberikan penjelasan (erkelern).
2. Mensistematisasikan gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan dianalisis itu.
3. Menginterpretasikan hukum yang berlaku.
4. Menilai hukum yang berlaku tersebut.
Antara dogmatika hukum dengan teori hukum mempunyai hubungan satu sama lain, sebagaimana yang dikatakan oleh Gijssels & Hoecke “Dogmatika hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari sudut pandang teknis, sedangkan teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum tersebut. Dogmatika hukum berbicara tentang hukum, sementara teori hukum berbicara tentang cara. Dengan cara tersebut, ilmuwan hukum berbicara hukum”.
Dogmatika hukum, lewat teknik-teknik interpretasi tertentu, menerapkan teks undang-undang, yang pada pandangannya, pertama tidak dapat diterapkan pada situasi masalah konkrit. Oleh karena itu, teori hukum mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interpretasi, melalui sifat memaksa secara logis dari penalaran interpretasi dan sejenisnya.
Ilmu Hukum Dogmatik, menurut D.H.M. Meuwissen, adalah ilmu hukum yang optima formal (dalam bentuknya yang optimal). Ia dapat kita namakan dengan dogmatika hukum (rechdogmatik; jurisprudence). Dengan istilah ini, semua kegiatan ilmiah yang diarahkan untuk mempelajari isi dari sebuah tatanan hukum positif yang konkrit. Seorang dogmatikus, hanya membatasi pada kaidah-kaidah hukum positif tertentu dan menutup diri terhadap sistem-sistem hukum yang lain. Selain itu, seorang dogmatikus hukum memandang sifat yang khas dari hukum positif. Orang akan cenderung untuk memandang ilmu hukum ini sebagai ilmu normatif.
Ilmu hukum dogmatik mempunyai ciri sebagai berikut:
1) Empiris-analitis, Ini berarti bahwa ilmu hukum dogmatik memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi dan struktur hukum yang berlaku. Ia tidak menjelaskan, meskipun ia memikirkan berbagai pengertian dalam hukum,
2) Mensistematisasi, Dalam hal ini gejala-gejala hukum yang dipaparkan dan dianalisis itu, tidaklah perse (demi dirinya), mengandung arti bahwa suatu sistem hukum yang logis konsisten telah dirancang.
3) Menginterpretasi dari hukum yang berlaku, bukan deskripsi (pemaparan). Ilmu hukum ini menilai hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Apa yang dikemukkan oleh dogmatika hukum berkaitan eras dengan penerapan praktis dari hukum. Oleh karena itu, rangkaian dalam dogmatika hukum adalah hukum harus dipaparkan, dianalisis, disistematisasi dan diinterpretasikan. Dogmatika hukum, dapat kita katakan sebagai ilmu keahlian hukum atau seni hukum.
Tentang dogmatika hukum kita dapat gambarkan sebagai berikut :
Objek Hukum positif
Tujuan Teoritikal, terutama praktikal
Perspektif Internal
Teori kebenaran Pragmatic
Proposisi Informatif, normatif, evaluatif.
2. Kajian Filosofis (Metode Transendental)
Kajian ini lebih menitikberatkan pada seperangkat nilai-nilai ideal, yang seyogyanya senantiasa menjadi rujukan dalam setiap pembentukan, pengaturan, dan pelaksanaan kaidah 'hukum. Kajian ini lebih diperankan oleh kajian filsafat hukum, atau law in ideas. Kajian filosofis ada dalam kajian hukum, karena studi hukum dimulai tidak sebagai disiplin yang sifatnya otonom, melainkan sebagai bagian dari studi filsafat. Studi filsafat hukum ini telah berumur lebih dari ribuan tahun. Kehadiran yang amat dini tersebut disebabkan oleh eksistensi dari tatanan itu sendiri. Tatanan merupakan sisi lain dari kehidupan bersama manusia, sebab manusia adalah mahluk tatanan.
Filsafat hukum memusatkan perhatiannya kepada pertanyaan-pertanyaan filosofis dari hukum. Mempersoalkan hukum dan keadilan, hukum dan kebebasan, hukum dan kekuasaan. (Mengenai pengertian dari filsafat hukum ini akan dibahas pada bab mengenai teori hukum). Pengembangan filsafat hukum mencakup seperti di bawah ini.
1. Ontologi hukum merefleksikan hakikat hukum dan konsep-konsep fundamental terkait, yaitu demokrasi, hubungan hukum dengan orang.
2. Aksiologi hukum merefleksikan isi dan nilai yang termuat dalam hukum, yaitu kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan dan kebenaran.
3. Ideologi hukum, yang merefleksikan wawasan manusia dan masyarakat yang melegitimasi hukum.
4. Epistemologi hukum, yang merefleksikan sejauh mana pengetahuan tentang hukum dapat dijalankan.
5. Teleologi hukum, yang merefleksikan makna serta tujuan dari hukum.
6. Ajaran ilmu, yang merefleksikan kriteria keilmuan ilmu hukum.
7. Logika hukum, yang merefleksikan aturan berpikir dalam hukum.
Filsafat hukum dapat digambarkan sebagai berikut.
Objek Batas-batas dan kaidah hukum
Tujuan Teoritikal
Pespektif Internal
Teori kebenaran Pragmatic
Proposisi Informatif, normatif, evaluatif.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Filsafat Hukum adalah bagian dari filsafat umum. Oleh karena itu, setiap uraian tentang arti (defenisi) dari filsafat sudah tidak mengandaikan suatu titik tolak kefilsafatan, maka untuk mengetahui filsafat hukum, kita harus mengetahui terlebih dahulu filsafat secara umum. Filsafat adalah suatu pendasaran diri dan perenungan diri secara radikal. Ia mencoba untuk berefleksi tentang segala hal yang ada, tentang hal ada dalam keumumannya. Filsafat dimulai dengan mempertanyakan segala hal, mengapa semuanya itu?, apakah sebagaimana adanya dan tidak lain? Jadi, pada intinya, Filsafat merupakan refteksi (pemantulan kembali) dari suatu kegiatan berpikir dan memiliki sifat nasional. Hal ini, berarti bahwa filsafat harus memberikan argumentasi pada tesis-tesis dan pemahamannya dan terbuka bagi kontra argumentasi dan bantahan-bantahan terhadap dalil-dalilnya. Filsafat berada dalam dimensi komunikasi intersubjektif, ia dikembangkan dan diolah dalam suatu hubungan diskusi (diskursio terbuka dari subjek-subjek yang satu terhadap yang lainnya).
Tujuan utama kajian filosofis ini adalah ingin memahami secara mendalam hakikat dari hukum. Ini berarti, filsafat hukum ingin memahami hukum sebagai tampilan atau manifestasi dari suatu asas yang melandasinya. Karena itu, filsafat hukum, mengandaikan teori pengetahuan (epistemology) dan etika. Pembahasan filsafat hukum mencakup dua hal, yakni apa landasan dari kekuatan mengikat dari hukum itu? dan berdasarkan apa kita menilai keadilan (richtigheid; rechtsvaardigheid) dalam hukum.
Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis. Pengertian Sosiologi Hukum ini menganalisa bagaimana jalannya suatu hukum dalam masyarakat, yang merupakan hal utama bagi para pengguna hukum agar tahu betapa berpengaruhnya hukum dalam suatu masyarakat, hal inilah yang membuat betapa harus kita belajar mengenai Sosiologi Hukum. Adapula ciri dari sosiologi Hukum yang Berupa empiris atau berupa gejala masyarakat yang bersifat kenyataan dan tidak bersifat spekulatif. Analisa dari Sosiologi Hukum ini, diresap secara tidak sadar oleh masyarakat, baik secara internal maupun eksternal dalam melakukan suatu interaksi. Kita dapat menarik contoh bagaimana masyarakat meresap analisa sosiologi hukum secara tidak sadar dalam hal kesadaran akan undang-undang. Menurut Brade Meyer:
- Sociology of the law – Menjadikan hukum sebagai alat pusat penelitian secara sosiologis yakni sama halnya bagaimana sosiologi meneliti suatu kelompok kecil lainnya. Tujuan penelitian adalah selain untuk menggambarkan betapa penting arti hukum bagi masyarakat luas juga untuk menggambarkan proses internalnya hukum.
- Sociology in the law – Untuk memudahkan fungsi hukumnya, pelaksanaan fungsi hukum dengan dibantu oleh pengetahuan atau ilmu sosial pada alat-alat hukumnya.
- Gejala sosial lainnya – Sosiologi bukan hanya saja mempersoalkan penelitian secara normatif (dassollen) saja tetapi juga mempersoalkan analisa-analisa normatif didalam rangka efektifitas hukum agar tujan kepastian hukum dapat tercapai.
Beberapa definisi sosiologi hukum, perlu kita perhatikan apa yang di tulis oleh P.J Bouman yang menyatakan: “ Sosiologi hukum mempelajari arti sosial dan hukum. Dia uraikan dan dia jelaskan fungsi-fungsi hukum dalam struktur sosial, seperti juga pengaruh struktur-struktur sosial dalam perubahan yang terus menerus, yang dilaksanakan atas hukum. Sifat normatif dari hukum bagi yuris mempunyai isi lain dari pada bagi seorang sosiolog, yang mengedepankan penginterpretasian normativitas sebagai kekuasaan sosial. (Bouman,1982)
Pendapat tersebut disamping mencoba menggambarkan secara singkat pengertian dan ruang lingkup dari pada sosiologi hukum, juga menggambarkan kepada kita bahwa ada perbedaan yang cukup prinsipil antara seorang ahli hukum. Secara implisit telah tergambar bahwa dalam kajian sosiologi hukum itu pokok fikirannya bukan dari kaca mata seorang ahli hukum tetapi dari seorang sosiologi. Selanjutnya Soerjono soekanto secara singkat mengatakan bahwa sosiologi hukum itu adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris mempelajari hukum timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. (Soerjono Soekanto,1979)
Pakar lain, Friedman (1953) menyatakan bahwa sosiologi hukum adalah sebuah kajian tentang hubungan hukum terapan dan idealisme. Sedang Paton (1931) menyatakan bahwa bahwa sosiologi hukum diartikan sebagi upaya menciptakan sebuah ilmu tentang kehidupan sosial secara keseluruhan untuk menggabungkan sosiologi secara umum dengan ilmu politik. Penerapan kajian ilmu sosiologi hukum ini adalah masyarakat dan hukum dalam tataran aflikasi atau manifestasi.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang sosiologi hukum ini dapat dikutip beberapa keterangan dari Satjipto Raharjo yang menyatakan antara lain bahwa: sosiologi hukum tidak melihat hukum itu sebagai peraturan-peraturan, sebagai prosedur, sebagi lembaga-lembaga hukum, melainkan sebagi pola hubungan antar manusia didalam masyarakat, atau kalau itu lembaga hukum, sebagai lembaga sosial biasa. (Satjipto Raharjo, 1977)
Selanjutnya sebagai perbandingandapat dikemukakan pandangan dari Adam Podgorecki tentang sosiologi hukum di mana ia menyatakan bahwa sosiologi hukum tidak hanya bertugas mencatat, memformulasikan, dan menjelasakan hubungan-hubungan umum yang ada diantara hukum dan faktor-faktor sosial lainnya (dalam hal ini, hukum bisa ditentang sebagi variable yang terikat dan bebas), tetapi juga mencoba untuk membangun sebuah teori umum untuk menjelaskan proses-proses sosial, di mana hukum dibangun dan ditekankan, dan dalam hal ini, sosiologi menghubungkan disiplin keilmuan ini ke dalam rumpun pengetahuan sosiologis. Selanjutnya ia mengatakan bahwa sosiologi hukum akan membatasi sistem-sistem nilai, proses-proses sosiolasi hukum akan membatasi dalam hukum, pertimbangan-pertimbangan sosial dari hukum,peralihan-peralihan atau modifikasi sosial dari hukum, dan dinamika institusi-institusi hukum. (Adam Podgorecki, 1974).
Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi hukum sebenarnya merupakan ilmu tentang kenyataan hukum, yang ruang lingkupnya adalah:
- Dasar sosial dari hukum, atas dasar anggaran bahwa hukum timbul serta tumbuh dari proses sosial lainnya (the genetic sociology of law).
- Efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya dalam masyarakat (the operational sociology of law)
Apabila yang dipersoalkan adalah perspektif penelitiannya, maka dibedakan antara:
- Sosiologi hukum teoritis yang bertujuan untuk menghasilkan generalisasi abstraksi setelah pengumpulan data, pemeriksaan terhadap keteraturan sosial dan pengembangan hipotesa-hipotesa.
- Sosiologi hukum empiris yang bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa dengan cara mempergunakan atau mengolah data yang dihimpun kedalam keadaan yang di kendalikan secara sistematis dan metodologis. (Soerjono Soekanto, 1979)
Ruang Lingkup Sosiologi Hukum
Dasar sosial dari hukum dengan anggapan bahwa hukum timbul dan tumbuh dari proses sosial lainnya (the genetic sociology of law). Efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lain (the operational sociology of law) seperti munculnya:
- Antropologi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan modern sesuai dengan budaya masing-masing
- Psikologi hukum adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan jiwa manusia dengan tujuan penyerasian terhadap hukum
- Perbandingan hukum adalah ilmu pengetahuan yang memperbandingkan sistem hukum yang berlaku didalam satu atau beberapa mayarakat dengan tujuan melakukan pembinaan hukum
- Sejarah hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum masa lampau (masa penjajahan kolonial belanda) sampai dengan sekarang dengan tujuan pembinan terhadap hukum
- Politik hukum adalah memilih nilai-nilai dan menerapkannya dalam kehidupan
- Nilai yaitu konsepsi abstrak dalam pikiran manusia tentang sesuatu hal yang baik atau buruk
- Disiplin yaitu suatu ajaran yang menentukan apakah yang seharusnya atau seyogyanya dilakukan dalam menghadapi kenyataan
Dalam dunia hukum, terdapat fakta lain yang tidak diselidiki oleh ilmu hukum yaitu pola-pola kelakuan (hukum) warga-warga masyarakat. Ruang lingkup Sosiologi Hukum juga mencakup 2 (dua) hal, yaitu :
1. Dasar-dasar sosial dari hukum, contoh: hukum nasional Indonesia, dasar sosialnya adalah Pancasila, dengan ciri-cirinya : gotong-royong, musyawarah-kekeluargaan.
2. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya, contoh : UU PMA terhadap gejala ekonomi, UU Pemilu dan Partai Politik terhadap gejala politik, UU Hak Cipta tahun 1982 terhadap gejala budaya, UU Perguruan Tinggi terhadap gejala pendidikan.
Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahap ini, seorang sosiolog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu sosial dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.
Pada pendekatan intrumental adalah merupakan disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat dan tidak terlepas dari pendekatan Hukum Alam. Latar belakang, Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu, Sosilogi hukum bersifat khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang tertera pada peraturan dan harus menguji dengan data empiris.
Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala gejala sosial lain. Studi yang demikian memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
- Sosiologi hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek- prektek hukum. Apabila praktek itu dibedakan kedalam pembuatan undang undang, penerapanya, dan pengadilanya, maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi dari kegiatan hukum tersebut. Dengan demikian makin jelas sudah tugas dari sosiologi hukum yaitu mempelajari tingkah laku manusia dalam bidang hukum. Menurut Weber, tingkah laku ini memiliki dua segi, yaitu “luar” dan “dalam”. Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, tetapi juga meperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. Apabila di sini di sebut tingkah laku hukum maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai denagn hukum atau yang menyimpang dari kaidah hukum, keduanya merupakan obyek pengamatan dari ilmu ini.
Contohnya : Bila ada tanda lampu merah di perempatan, kalau tidak ada polisi pengemudi terus jalan. Paradigma di Indonesia bahwa, Polisi, Hakim, Jaksa, sebagai hukum
- Sosiologi hukum senantiasa menguji kekuatan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pernyataan yang bersifat khas di sini adalah “Bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?”, “Apakah kenyataan seperti yang tertera dalam bunyi peraturan tersebut?” Perbedaan yang besar antara Pendekatan tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sementara yang kedua menguji dengan data (empiris). Misalnya : terhadap putusan pengadilan, pernyataan notaris dan seterusnya, apakah sesuai dengan realitas empirisnya?
Sosiologi hukum tidak melakukan penilain terhadap hukum. Tingkah laku yang mentaati hukum atau yang menyimpang dari hukum sama-sama menjadi obyek dari bahasan ilmu ini. Pendekatan yang demikian itu kadang-kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktek-praktek yang melanggar hukum. Pendekatan yang demikian itu kadang Kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktek praktek yang melanggar hukum. Sekali lagi bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum sebagai obyektifitas semata dan bertujuan untuk menjelaskan terhadap fenomena hukum yang nyata. Semua perilaku hukum dikaji dalam nilai yang sama tanpa melihat apakah itu benar, karena sosiologi hukum sesungguhnya adalah seinwissenschaaft (ilmu tentang kenyataan). Jadi orang-orang sosiologi hukum tidak boleh apriori, contoh : pelaku pidana tidak bisa dimaknai orang yang selalu jahat.
Sebagai cabang sosiologi yang terpenting, sosiologi hukum masih dicari perumusannya. Kendati selama puluhan terakhir semakin mendapat perhatian dan aktual, sosiologi hukum belum memiliki batas-batas tertentu yang jelas. Ahli-ahlinya belum menemukan kesepakatan mengenai pokok persoalannya, atau masalah yang dipecahkannya, serta hubungannya dengan cabang ilmu hukum lainnya.(Alvin S. Johnson, 2004). Terdapat pertentangan antara ahli sosiologi dan ahli hukum mengenai keabsahan sosiologi hukum. Ahli hukum memerhatikan masalah quid juris, sementara ahli sosiologi bertugas menguraikan quid facti: mengembalikan fakta-fakta sosial kepada kekuatan hubungan-hubungan. Sosiologi hukum dipandang oleh ahli hukum dapat menghancurkan semua hukum sebagai norma, asas yang mengatur fakta-fakta, sebagai suatu penilaian. Para ahli khawatir, kehadiran sosiologi hukum dapat menghidupkan kembali penilaian baik-buruk (value judgement) dalam penyelidikan fakta sosial.
Terdapat perbedaan antara sosiologi hukum yang dikenal di Eropa dan ilmu hukum sosiologis yang dikenal di Amerika Serikat. Sosiologi hukum memusatkan penyelidikan di lapangan sosiologi dengan membahas hubungan antargejala kehidupan kelompok dengan “hukum”. Sementara itu, ilmu hukum sosiologis menyelidiki ilmu hukum serta hubungannya dengan cara menyesuaikan hubungan dan tertib tingkah-laku dalam kehidupan kelompok.
Memang, sebagaimana dikatakan Soerjono Soekanto (1980), untuk mengetahui hukum yang berlaku, sebaiknya seseorang menganalisis gejala-gejala hukum dalam masyarakat secara langsung: meneliti proses-proses peradilan, konsepsi-konsepsi hukum yang berlaku dalam masyarakat (semisal tentang keadilan), efektivitas hukum sebagai sarana pengendalian sosial, serta hubungan antara hukum dan perubahan-perubahan sosial. Perkembangan masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta pembidangan kehidupan yang semakin maju dan berkembang menghendaki pengaturan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu (Esmi Warassih, 2005).
Sosiologi hukum berkembang atas suatu anggapan dasar bahwa proses hukum berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. O.W. Holmes, seorang hakim di Amerika Serikat, mengatakan bahwa kehidupan hukum tidak berdasarkan logika, melainkan pengalaman. Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup sosiologi hukum meliputi (1) pola-pola perilaku (hukum) warga masyarakat, (2) hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan dan wujud dari kelompok-kelompok sosial, dan (3) hubungan timbal-balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dan perubahan-perubahan sosial dan budaya.
Sosiologi hukum memiliki kegunaan yang bermacam-macam. Pertama, sosiologi hukum mampu memberi penjelasan tentang satu dasar terbaik untuk lebih mengerti Undang-undang ahli hukum ketimbang hukum alam, yang kini tak lagi diberi tempat, tetapi tempat kosong yang ditinggalkannya perlu diisi kembali. Kedua, sosiologi hukum mampu menjawab mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang memengaruhinya. Ketiga, sosiologi hukum memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial. Keempat, sosiologi hukum memberikan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, maupun sarana untuk mengatur interaksi sosial, agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu. Kelima, sosiologi hukum memberikan kemungkinan dan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.
Bila para ahli hukum dalam melakukan analisanya berpegang pada indikator – indikator dalam aturan – aturan hukum seperti pengetahuan, keputusan resmi, pengadilan, maka lain halnya dengan ahli sosiologi dimana mereka dalam melakukan analisa tentang hukum meninjaunya dari segi – segi aturan sosial, peranan hukum, dan perubahan – perubahan sosial. Hukum adalah suatu seni atau juga dianggap sebagai suatu ketrampilan yang ditransmisikan dari seorang ahli kepada seseroang yang masih magang, walaupun dalam beberapa hal diduga bersifat destruktif sehingga diharapkan bahwa pendidikan hukum memiliki daya tahan yang terus menerus terhadap perubahan yang terjadi.
Adanya suatu kesalahan konsepsi “tentang hukum yang kini tumbuh dikalangan masyarakat, yaitu suatu pandangan bahwa hukum itu adalah sesuatu yang bersifat normative, bahwa hukum adalah suatu keharusan atau perintah dan bahwa metodologi kebanyakan sosiologi tradisional dianggap tidak sesuai bagi suatu penelitian terhadap ilmu – ilmu yang bersifat normative dan terhadap ilmu – ilmu yang merupakan institusional. Karakter hukum yang membedakan dari aturan – aturan yang bersifat normative ialah adanya mekanisme control yang disebut sebagai sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan – aturan sosial dan sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakut – nakuti agar orang tetap patuh kepada aturan – aturan sosial yang sudah ditentukan.
Konsep sosiologi yang berkaitan dengan masalah hukum tidak mungkin untuk bisa kita pahami secara matematis. Karena itu setiap orang yang mencoba menciptakan konsep sosiologi hukum berarti dia melibatkan diri dengan fenomena sosial, suatu fenomena yang sangat kompleks sehingga untuk memahaminya tidak bisa hanya dengan menggunakan jasa pikiran satu arah saja. Hukum secara sosiologis penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang merupakan himpunan nilai – nilai, kaidah – kaidah dan pola – pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan – kebutuhan pokok manusia.( Dr. Hendrojono,2005)
Hukum sebagai suatu lembaga kemasyarakatan hidup berdampingan dengan lembaga – lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling pengaruh mempengaruhi dengan lembaga kemasyarakatan tadi. Jadi sosiologi hukum berkembang atas dasar suatu anggapan dasar, bahwa proses hukum berlangsung didalam suatu jaringan atau system sosial yang dinamakan masyarakat. Artinya bahwa hukum hanya dimengerti dengna jalan memahami system sosial terlebih dahulu dan bahwa hukum meruapakan suatu proses.
Perihal perspektif dari pada sosiologi hukum, maka secara umum ada dua pendapat utama :
1. Pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa kepada sosiologi hukum harus diberikan suatu fungsi yang global, artinya sosiologi hukum harus menghasilkan suatu sintesa antara hukum sebagai sarana organisasi sosial dan hukum sebagai sarana dari keadilan. Didalam fungsi tersebut maka hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak kecil dari sosiologi hukum didalam mengidentifikasi konteks sosial dimana hukum tadi diharapkan berfungsi.
2. Pendapat-pendapat lain menyatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum adalah justru dalam bidang penerangan dan pengkaidahan, dimana sosiologi hukum dapat mengungkapkan data tentang keajegan-keajegan mana didalam masyarakat yang menuju pada pembentukan hukum (baik melalui keputusan penguasa maupun melalui ketetapan bersama dari para warga masyarakat terutama yang menyangkut hukum fakultatif).
Dari batasan ruang lingkup maupun perfektif sosiologi hukum maka dapat dikatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum didalam kenyataannya adalah sebagai berikut :
- Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum didalam konteks sosial.
- Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat baik sebagai sarana untuk mengubah masyarakat atau sarana untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu.
- Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum didalam masyarakat.
Manfaat mempelajari Sosiologi Hukum, hal-hal yang dapat diketahui :
- Sosiologi dan falsafah hukum (perencana dan penegak hukum)
- Unsur kebudayaan yang mempengaruhi hukum
- Golongan masyarakat yang mempengaruhi hukum
- Golongan mana yang diuntungkan dan golongan mana yang dirugikan
- Mengetahui kesadaran hukum dan dapat diukur frekuensinya
- Mengetahui mentalitas dan perilaku penegak hukum
- Mengetahui hukum yang dapat mengubah perilaku
- Mengetahui faktor penghambat atau pendukung yang berpengaruh terhadap berfungsinya hukum
Kemampuan-kemampuan yang diperoleh setelah mempelajari Sosiologi Hukum
- Memahami hukum dalam konteks sosialnya
- Melihat efektivitas hukum baik social control maupun social engineer
- Menilai efektivitas hukum
Kegunaan Sosiologi Hukum Praktis bagi Praktisi Hukum
- Kegunaan dalam menggunakan konkritisasi terhadap kaidah-kaidah hukum tertulis (referensial) yakni kaidah hukum, pedoman hukum yang menunjuk pada pengetahuan di luar ilmu hukum., Misal Pasal 1338 BW (Perencanaan dilakukan dengan itikad baik) dan Pasal 1536 BW (Onrecht matige daad atau perbuatan melawan hukum)
- Dapat mengadakan konkritisasi terhadap pengertian-pengertian hukum yang tidak jelas atau kurang jelas.
- Dapat membentuk dan merumuskan kaidah hukum yang mempunyai dasar sosial
- Mampu merumuskan RUU dengan bahasa hukum yang mudah dicerna.
Metoda untuk meneliti hukum
- Idiologis (melihat hukum sebagai nilai-nilai), filosofis, yuridis
- Melihat hukum sebagai sistem atau pengaturan yang abstrak lepas dari hal-hal di luar peraturan-peraturan tersebut (dogmatis)
- Sosiologis (melihat hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat/efektivitas hukum)
Masalah yang di teliti Ilmu Hukum
- Mempelajari asas-asas pokok dari hukum (filsafat hukum)
- Mempelajari sistem formal dari hukum (sosiologi hukum dan dogmatik hukum)
- Mempelajari konsepsi-konsepsi hukum dan arti fungsionalnya dalam masyarakat (sosiologi hukum)
- Mempelajari kepentingan-kepentingan sosial apa saja yang dilindungi oleh hukum (sosiologi hukum)
- Ingin mengetahui tentang apa sesungguhnya hukum itu, dari mana hukum datang atau muncul, apa yang dilakukannya dan dengan cara-cara atau sarana-sarana apa hukum malakukan hal itu ( sejarah hukum)
- Mempelajari tentang apakah keadilan itu dan bagaimana keadilan itu diwujudkan melalui hukum (filsafat hukum)
- Mempelajari tentang perkembangan hukum, apakah hukum itu, apakah sejak dulu sama denga sekarang, bagaimana sesungguhnya hukum itu berubah dari masa ke masa (sejarah hukum)
- Mempelajari pemikiran-pemikiran orang mengenai hukum sepanjang masa (filsafat hukum)
- Mempelajari bagaimana sesungguhnya kedudukan hukum itu dalam masyarakat, bagaimana hubungan atau kaitannya antara hukum dengan sub-sub sistem lain dalam masyarakat baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebgainya (sosiologi hukum)
Komentar
Posting Komentar