Hukum Pertunangan Dilihat dalam pandangan Hukum Islam




Tunangan merupakan mengikat seseorang sebelum menikah dengan pasangannya melalui proses pinangan atau prosesi lamaran. Sebagian besar pasangan melakukan tunangan terlebih dahulu sebelum menjalani proses pernikahan. Hal itu dilakukan untuk masa penjajakan sebelum menikah.

Sebenarnya khitbah atau yang dikenal dengan istilah meminang berarti seorang laki-laki yang datang meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya jika pihak wanita menerima lamaran pihak lelaki maka pasangan tersebut dinyatakan telah bertunangan

Menurut sebagian besar ulama, tunangan dikategorikan sebagai pendahuluan atau persiapan sebelum menikah dan melakukan khitbah atau pinangan yang mengikat seorang wanita sebelum menikah dan hukumnya adalah mubah (boleh), selama syarat-syarat khitbah dipenuhi. Syaratnya ada dua yaitu:

1. Mustahsinah

Mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meninang seorang wanita, agar ia meneliti terlebih dahulu wanita yang akan dipinangnya itu. Yang termasuk di dalam syarat ini adalah:


  • Sekufu
  • Wanita yang akan dipinang adalah wanita yang mempunyai sifat kasih sayang.
  • Jauh hubungan kekerabatan dengan laki-laki peminang.
  • Hendaknya mengetahui keadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari wanita yang akan dipinang.


2. Lazimah

Lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Syahnya peminangan tergantung pada syarat-syarat lazimah. Yang termasuk dalam syarat lazimah adalah:


  • Wanita tersebut tidak dalam pinangan lelaki lain.
  • Wanita tersebut tidak dalam masa iddah.
  • Wanita tersebut bukan mahram.




Tunangan atau khitbah diperbolehkan dalam islam karena tujuan peminangan atau tunangan hanyalah sekedar mengetahui kerelaan dari pihak wanita yang dipinang sekaligus sebagai janji bahwa sang pria akan menikahi wanita tersebut. Sebagaimana hadis berikut ini : “Jika di antara kalian hendak meminang seorang wanita, dan mampu untuk melihat darinya apa-apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah.”(HR.Imam Ahmad dan Abu Dawud)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa islam mengizinkan laki-laki untuk melakukan pinangan kepada seorang wanita dan mengikatnya dengan tali pertunangan namun jika hal ini sesuai syariat islam. Setelah melaksanakan pertunangan sang wanita tetap belum halal bagi sang pria dan keduanya tidak diperbolehkan untuk saling melihat, berkumpul bersama atau melakukan hal-hal yang dilarang yang dapat menjerumuskan dalam perbuatan zina. Hal ini sesuai dengan hukum kompilasi islam pasal 11 tentang akibat hukum dari khitbah atau tunangan yang menyebutkan bahwa :
  • Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai
  • Hukum Memberikan Hadiah Pertunangan
Saat bertunangan kita sering mendengar istilah tukar cincin, lalu bagaimanakah hukumnya dalam islam? Sebenarnya kebiasaan tukar cincin bisa jadi hanyalah kebiasaan namun seorang laki-laki diperbolehkan memberi hadiah atau cinderamata kepada tunangannya atau yang disebut dengan istilah urf. Jika dikemudian hari pihak pria membatalkan pertunangan atau pinangannya maka ia tidak dibenarkan untuk mengambil kembali hadiah tersebut.
Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan: “Tidak halal bagi seseorang muslim memberi sesutau kepada orang lain kemudian memintanya kembali, kecuali pemberian ayah kepada anaknya” (HR. Ahmad al-irba’ati wa shohihu al-Tirmidzi wa ibnu hibban wa al-Hakim)
  • Hukum Membatalkan Pertunangan
Tunangan atau pinangan hanyalah janji seorang pria yang akan menikahi seorang wanita dan merupakan langkah awal dalam mempersiapkan suatu pernikahan. Berdasarakan hal tersebut maka sebenarnya pertunangan bisa diputuskan atau dibatalkan oleh salah satu pihak misalnya jika terjadi konflik dalam keluarga.
meskipun demikian jika tunangan dibatalkan oleh pihak perempuan ada baiknya mahar yang telah diberikan oleh sang pria dikembalikan. Meskipun demikian seorang pria yang sudah berjanji pada seorang wanita sebaiknya memenuhi janjinya tersebut karena bukankah seorang muslim harus memenuhi janjinya sebagaimana yang disebutkan dalam Alqur’an surat Al isra ayat 34: ”Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.

Tunangan adalah bentuk saling berjanji untuk menikah di masa depan, sehingga ini termasuk jenis khitbah (melamar untuk menikah) yang sudah diterima oleh fihak wanita. Hal ini hukumnya boleh. Tetapi tidak boleh melakukan tunangan atau khitbah kepada seorang wanita yang berada di dalam masa ‘iddah, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا

"Janganlah kamu mengadakan janji nikah dengan mereka [waniat yang suaminya telah meninggal dan masih dalam ‘iddah] secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf". [al-Baqarah/2:235]

Karena tunangan termasuk khitbah yang sudah diterima, maka tidak boleh seorang pria meminang seorang wanita yang telah bertunangan dengan orang lain untuk dinikahi. Karena hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

"Janganlah seorang laki-laki meminang/melamar (seorang wanita) yang telah dipiang oleh saudaranya, sampai peminang sebelumnya itu meninggalkan atau mengidzinkan untuknya". [HR. Bukhari, no. 4848, 4849 dan Muslim, no. 1408]

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits ini jelas dalam mengharamkan lamaran atas lamaran saudaranya. Mereka (Ulama) sepakat keharamannya jika pelamar pertama itu sudah diterima, dan dia tidak mengidzinkan (untuk orang lain) dan tidak meninggalkan”.

Namun yang perlu diingatkan di sini bahwa tunangan bukan akad nikah, sehingga laki-laki dan wanita yang bertunangan masih berstatus orang asing, bukan suami istri, sehingga mereka berdua tidak boleh berkhalwat (berduaan), bersentuhan kulit, atau berbicara dengan memerdukan suara.

Oleh karena itu jalan yang selamat adalah segera menikah jika memang sudah mampu, jika belum mampu hendaklah mengendalikan syahwat dengan berpuasa dan menghindari semua sarana yang akan membangkitkan syahwatnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

"Wahai jama’ah pemuda, barangsiapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah dia menikah. Dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu pemutus syahwat". [HR. Bukhari,  no: 5065; Muslim, no: 1400]


(^_^)
~g~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUKUM PERKAWINAN : Pengertian, Azas, Syarat Pekawinan, dll

HUKUM DAGANG

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA